Savior

-F
            Mungkin keberadaan Danio di kehidupan Vania hanya sebagai pemeran cadangan atau pemeran pembantu. Mungkin keberadaan Danio di kehidupan Vania sama seperti angin lalu. Mungkin Danio tidak mempunyai eksistensi apapun di mata Vania dan Danio tahu itu. Di sini, di kehidupan Vania, Danio hanyalah bayang-bayang yang bekerja untuk menyelamatkannya.
            Danio duduk sambil menopang dagu. Matanya menatap lurus ke depan. Dia menghela napas, lalu mengacak-acak surai hitam legamnya yang sudah berantakan. Dari sudut matanya, dia mendapati seorang gadis dengan seragam sekolah yang sama dengannya memasuki ruang kelas. Tanpa sadar, kedua bola matanya bergerak mengikuti pergerakan gadis itu, Vania.
            Merasa diperhatikan, Vania menoleh ke arahnya, sehingga mau tidak mau Danio harus berpura-pura sedang memperhatikan papan yang kosong. Vania berjalan ke arahnya—bukan, bukan untuk menghampiri Danio, tetapi Vania memang duduk di samping Danio.
            Melihat Vania lagi, otak Danio memutar kembali masa-masa di mana ia pertama kali bertemu dengan Vania. Dia masih ingat betul bagaimana pertama kali mereka bertemu, penyebabnya, dan bahkan lokasinya.

            Saat itu Danio baru menginjak usia tujuh tahun. Dia berjanji akan bermain basket dengan teman-temannya di lapangan kompleks rumah, tetapi saat dia sedang berjalan melalui sebuah gang kecil, dia melihat tiga laki-laki seusianya atau bahkan mungkin lebih tua sedang mengganggu seseorang. Dia bersembunyi di balik dinding dan memperhatikan mereka dalam diam.
            “Kamu bilang apa tadi?” tanya salah satu dari mereka. Yang bertanya itu mempunyai luka yang masih baru di lengan tangannya. Danio kenal dengannya. Nama laki-laki itu Kenneth.
            “A – aku minta maaf,” jawab orang yang sedang mereka pojokan itu. Dari suaranya, Danio bisa menebak kalau orang itu adalah perempuan. Dia terdengar ketakutan.
            Teman si laki-laki itu yang mengenakan baju berwarna jingga mendengus. “Maaf aja gak cukup. Kasih boneka kamu sama permennya!”
            Yang satu lagi menambahkan, “Kamu baru beli permennya, kan? Kasih uangmu juga.”
            “T – tapi kalian udah rusakin sepeda aku. Lagian aku juga udah minta maaf!” tentangnya takut-takut.
            Kenneth meninju tembok yang ada di sampingnya. “Kamu berani nentang kita?!” tanyanya dengan nada marah. Danio mendecih pelan. Dia paling tidak suka orang-orang sok berkuasa seperti ini.
            “Enggak,” jawabnya dengan suara yang lebih kecil.
            Si baju jingga itu menarik paksa boneka yang dipegang gadis itu. Kedua mata gadis itu sudah meneteskan air mata, tapi mereka bertiga masih tidak melepaskannya. “Kasih ke kita!”
            “Jangan!!”
            Danio keluar dari persembunyiannya. Dia melempar bola basketnya ke dinding, tepat di samping kepala perempuan itu, lalu bolanya memantul dan mengenai wajah si baju jingga. Sebenarnya itu semua tidak disengaja. Danio sendiri juga kaget dengan apa yang baru saja terjadi, tapi dia harus membuat wajahnya segarang yang ia bisa.
            “Danio?!” ucap Kenneth kaget. Dia melihat Danio dan perempuan itu secara bergantian, kemudian mengajak teman-temannya pergi. “Lain kali, awas kamu!” katanya ke perempuan itu.
            Setelah mereka bertiga pergi, Danio menghampiri perempuan itu. Dia membantunya mengambil beberapa permen yang terjatuh ke tanah.
            “Makasih, ya,” ucapnya dengan suara parau. Dia mengulurkan tangannya untuk berkenalan, namun Danio hanya menjabatnya sekilas.
            “Aku Vania. Kamu pasti Danio, kan? Rumah kita sebelahan, loh!” katanya dengan nada riang, tidak seperti sebelumnya.
            Danio mengangguk sambil menyerahkan permen-permen itu kepadanya. “Lain kali hati-hati.”
            “Iya. Makasih,” balas Vania tulus. Mereka berdua berjalan berdampingan saat keluar dari gang itu.
            “Kamu mau ke lapangan, ya?” tanya Vania.
            “Iya.”
            Dia memajukan bibirnya. “Yah… Yaudah, deh.” Vania merogoh saku celananya, kemudian memberikannya sebuah permen. “Buat kamu.”
            Danio mengambilnya. “Makasih.”
            Vania mengangguk senang. Dia mengambil sepedanya yang berada di seberang jalan, lalu pergi meninggalkannya.
            Saat Vania sudah menghilang dari pandangannya, Danio memperhatikan permen yang diberikan oleh Vania. Dia baru sadar kalau di balik permen itu ada tulisan, I love you.
            Kedua pipi Danio bersemu merah. Gak sengaja, mungkin, pikirnya.

            “Danio.” Seseorang menyenggol lengannya. Dia menoleh dan mendapati Nathan, sahabatnya sejak kecil yang berdiri di sampingnya. “Bengong aja.”
            “Sori,” gumamnya pelan.
            “Mau ke kantin, gak?” tawarnya.
            Danio melirik jam dinding yang ada di bagian terdepan kelas. “Masih lima belas menit, ya?”
            “Iya. Mau?”
            Dia mengangguk, kemudian bangkit dari duduknya. Begitu mereka berdua sudah keluar dari kelas, Nathan langsung menyenggol sahabatnya itu. “Lo pasti mikirin Vania lagi, kan?”
            Danio tertawa kecil tanpa menjawab. Dia lagi-lagi teringat akan hal lain yang pernah terjadi di antara mereka.

            Sekarang Danio sudah menjadi siswa kelas 6 SD. Prestasi akademik dan non-akademiknya bagus dan dia selalu memasuki deretan tiga besar. Lawan terberatnya di kelas adalah Vania, gadis yang waktu itu dia tolong dari gangguan Kenneth dan kawan-kawannya.
            Di jam istirahat, nyaris semua anak meninggalkan ruang kelas dan hanya menyisakan beberapa anak lain yang membawa bekal dari rumah. Danio sendiri tidak begitu sering ke kantin, sehingga ia berada di kelas hari itu.
            Anehnya, Vania yang biasanya selalu turun ke kantin malah berada di kelas. Dia memegang perutnya dan menidurkan kepalanya di atas meja. Penasaran, Danio pun menghampirinya.
            Danio menepuk pundak Vania dua kali, lalu berjongkok karena Vania hanya menoleh tanpa mengangkat kepala. “Lo kenapa?” tanyanya.
            Vania menggeleng lemah. “Sakit perut.”
            “Mau gue anterin ke UKS?”
            Vania menggeleng lagi, tapi kali ini disertai dengan sebuah senyuman lemah. “Gak usah,” balasnya. Perlahan-lahan Vania mengangkat kepalanya dari meja. “Gue mau ke toilet aja,” sambungnya.
            Dengan ragu Danio mengangguk. Dia memperhatikan Vania berdiri dan saat perempuan itu sudah menjauh, Danio melihat sedikit bercak merah di bagian rok gadis itu.
            Tersadar dengan apa yang terjadi, buru-buru dia memanggil Vania. “Van!”
            Vania menoleh dengan tatapan bingung. Dia berdiri di tempatnya, sementara Danio buru-buru mengambil jaketnya.
            “Kenapa?” tanya Vania.
            Danio menyerahkan jaket itu kepadanya. “Iket di pinggang lo, terus cepetan ke kantor guru,” sarannya. Danio memajukan tubuh, kemudian berbisik, “Lo dateng bulan.”
            Saat Danio menarik wajahnya kembali, dia melihat kalau kedua pipi Vania memerah. “M – makasih,” ucapnya pelan sambil menunduk.
            Danio tersenyum, lalu menepuk kepala Vania. “Gak usah malu. Gue gak bakal bilang siapa-siapa juga, kok. Sana, cepetan.”
            “Makasih, ya Dan. Lo udah nyelamatin gue lagi,” ujarnya. Tanpa menunggu jawaban Danio, Vania langsung berlari kecil dan keluar dari kelas.

            Saat melewati sebuah lorong yang sepi, Danio mendengar suara-suara berisik dari ruang ganti laki-laki. Dia menahan Nathan supaya laki-laki itu tidak berjalan lebih jauh. Saat Nathan membuka mulut untuk bertanya, Danio meletakkan jari telunjuknya di bibir. Mereka sama-sama terdiam dan bersandar di tembok, mendengarkan dengan seksama.
            “Lo gila, ya?!” ucap seseorang. Pintunya yang sedikit terbuka membuat mereka bisa mendengarkan dengan lebih baik. Suara laki-laki familiar di telinga Danio, tetapi dia tidak yakin siapa yang berbicara.
            “Gue mau deketin Vania. Apa salahnya?” jawab seorang laki-laki yang lain dengan santai. Danio bisa merasakan amarah laki-laki yang sebelumnya.
            “Lo bahkan gak suka sama dia!”
            “Karena itu gue mau ngedeketin dia. Apa, sih masalah lo? Lo bilang bakal dukung gue, apapun keputusan gue.”
            Terdengar suara seseorang yang memukul loker dengan cukup keras. “Gak gini caranya!”
            “Terserah. Gue bakal deketin Vania dan mainin perasaannya. Dia harus dapet pelajaran setelah bikin martabat gue turun di depan hampir satu sekolah.”
            “Itu bukan salah Van—”
            Suara loker yang dipukul lagi. “KALO LO GAK SUKA, LO BISA GAK IKUT CAMPUR, KAN?!”
            “Vania lakuin itu karena dia sayang sama lo, tapi lo malah mau mainin perasaan dia!”
            “Terserah. Pokoknya keputusan gue udah bulat.”
            Danio menarik Nathan ke arah yang berlawanan dengan arah ke kantin. Mereka berdua kembali ke kelas.
            “Lo tau tadi suara siapa?” tanya Danio dengan suara rendah. Kedua tangannya mengepal.
            “Yang ngebelain Vania gue gak tau, tapi cowok itu, yang mau bikin Vania sakit hati ... Dia Gio.”
            “Lo yakin—”
            “Seratus persen,” sela Nathan saat mereka memasuki ruang kelas. Mereka duduk di tempat masing-masing.
            Danio masih memikirkan percakapan yang tadi ia dengar, tapi tiba-tiba saja seseorang memasuki kelasnya dan memanggil nama Vania.
            Begitu Danio melirik orang yang memanggil nama Vania tadi, betapa kagetnya dia saat mengetahui ternyata yang memanggil Vania adalah Gio. Laki-laki itu sekarang berjalan ke arah Vania dengan senyuman khasnya di wajah.
            “Pulang nanti ada waktu sebentar, gak?” tanya Gio dengan nada semanis mungkin, seakan-akan tidak ada orang yang mengetahui rencana busuknya di sana.
            Vania mengangguk. “Ada. Kenapa?”
            Dilihat sekilas pun semua orang bisa tahu kalau Vania bertingkah berbeda setiap kali berhadapan dengan Gio. Vania yang biasanya selalu percaya diri malah menjadi gugup setengah mati.
            “Nanti ketemu sama gue di taman, ya? Gue tunggu.” Setelah mengucapkan itu, Gio langsung pergi, meninggalkan Vania dengan raut bingung di wajahnya.
            Lagi-lagi adegan lain terpikirkan di kepala Danio.

            Di kelas 2 SMP ini belum ada sesuatu yang berkesan bagi Danio. Semuanya biasa-biasa saja dan tidak ada yang menarik, hingga hari Rabu di minggu keempat semester kedua dimulai tiba.
            “Buka buku matematika kalian, halaman 231,” perintah gurunya. Setelah itu, Danio langsung buru-buru mengambil bukunya dari dalam tas. Namun saat yang lain sudah selesai mengambil, ada satu orang yang belum juga mengeluarkan bukunya dan malah berwajah panik. Tak lain tak bukan, Vania.
            “Psst,” panggil Danio. Vania menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya. Mereka memang duduk bersebelahan, jadi sangat mudah untuk berkomunikasi dengan satu sama lain.
            “Apa?” bisik Vania pelan.
            “Lo gak bawa buku?” tanyanya.
            Vania mengangguk dengan senyum masam.
            “Ada yang tidak membawa buku?” tanya gurunya.
            Vania menghela napasnya pasrah, tapi saat ia ingin mengangkat tangan, tiba-tiba saja seseorang—Danio—setengah-melempar bukunya ke atas meja Vania, lalu laki-laki itu berdiri.
            “Saya, Bu,” katanya. Vania memandangnya dengan tatapan tidak percaya. Mulutnya sedikit terbuka.
            “Karena ini pertama kalinya kamu tidak membawa buku, saya hanya akan memberi peringatan. Lain kali bawa, ya.”
            “Baik, Bu,” jawab Danio, kemudian kembali duduk di kursinya.
            Vania sedikit menunduk, kemudian berbisik, “Lo—”
            “Lain kali bawa,” sela Danio tanpa balas memandang Vania.
            Perempuan itu tersenyum penuh terima kasih. “Makasih, Dan. Buat yang kesekian kalinya.”

            Danio mendengus, bertepatan pada saat bel tanda pelajaran akan dimulai berbunyi. Di sisa pelajaran hari itu, dia tidak bisa fokus sama sekali. Pikirannya selalu berkelana ke percakapan antara Gio dan seorang laki-laki yang masih tidak diketahui siapa.
            Apakah Danio suka kepada Vania? Tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Bahkan Danio sendiri bingung dengan apa yang ia rasakan terhadap gadis itu. Yang ia tahu adalah dia ingin melindungi Vania, apapun risiko yang akan dihadapinya.
            Begitu bel pulang berbunyi, Vania dengan cepat memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas. Saat dia ingin beranjak pergi, Danio memanggilnya.
            “Van.”
            Vania menoleh. “Eh? Kenapa?”
            Hati Danio berdegup keras. “Jangan ... terima Gio. Dia cuma mau mainin perasaan lo,” katanya gugup. Baru kali ini Danio merasa seperti ini saat berbicara kepada Vania.
            Bukan sebuah ucapan terima kasih yang biasa Danio dapatkan dari Vania, kali ini gadis itu menamparnya tepat di pipi hingga mereka menjadi pusat perhatian seisi kelas. Pipi Danio terasa panas, tapi dia hanya memandang Vania datar.
            “Cukup. Gue tau kalo hubungan lo sama Gio gak pernah akur, tapi lo gak bisa ngomong kayak gitu. Lo gak bisa ... gak bisa ngomong hal yang gak ada buktinya,” ucap Vania dengan suara bergetar. Dia percaya kepada Danio. Selalu percaya kepada Danio, bahkan. Tapi tidak untuk kali ini.
            Kedua tangan Danio mengepal lagi. “Lo percaya atau gak, itu hak lo,” ucapnya, kemudian pergi meninggalkan ruang kelas.

---

            Empat bulan sudah berlalu sejak hari di mana Vania menampar Danio, tapi mereka masih tidak berbicara dengan satu sama lain sama sekali.
            Yang terjadi pada hari itu, Vania menerima Gio. Mereka masih menjalin hubungan hingga saat ini—setidaknya itu yang Danio tahu. Ucapan Danio yang ia lontarkan kepada Vania memang belum terbukti, tapi ia yakin kalau suatu saat nanti Vania akan menyesal karena sudah mengabaikan ucapannya.
            Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Danio langsung merapikan alat tulis serta buku-bukunya yang bertebaran di atas meja. Nathan juga sudah menghampirinya. Laki-laki itu duduk di bangku kosong yang ada di sebelah kanan Danio.
            “Lo nyadar, gak sih kalo hari ini Vania beda banget? Gak kayak biasanya. Lebih murung gitu,” bisik Nathan.
            Danio melirik orang yang Nathan bicarakan sekilas. Wajah gadis itu memang tidak seceria biasanya dan cukup berbeda. Matanya agak ... sembab.
            “Iya.”
            “Gue denger-denger Vania izin ekskul basket hari ini.”
            Danio menatap sahabatnya itu dengan sebelah alis yang terangkat.
            “Sumpah, gue gak bohong,” kata Nathan, menjawab tatapan Danio.
            Saat melihat Vania pergi, buru-buru Danio mengangguk, kemudian berlari mengejar perempuan itu. Dia tahu kalau sedaritadi Nathan menunggunya, tapi dia pikir Vania jauh lebih membutuhkannya sekarang.
            Vania berjalan begitu cepat dan keramaian yang sekarang sedang terjadi di koridor membuatnya semakin sulit untuk dikejar. Danio harus berkali-kali mengucapkan kata maaf karena selalu menubruk orang-orang yang sedang berjalan di depannya.
            Begitu Danio berada di dekat Vania, dia menarik tangan gadis itu. Awalnya Vania sempat melawan, tapi begitu mengetahui kalau Danio lah yang menariknya, dia hanya mengikutinya dengan patuh.
            Mereka melawan arus selama beberapa saat, kemudian menaiki tangga menuju atap sekolah. Di sana ada beberapa bangku panjang karena biasanya setiap jam istirahat, banyak murid yang naik ke atas sana.
            “Kasih tau gue,” ucap Danio saat mereka sudah berada di sana. “Semuanya,” sambungnya.
            Tiba-tiba saja Vania menangis. Dia duduk di salah satu bangku panjang dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Danio berjongkok di hadapannya, lalu mengusap rambut gadis itu pelan.
            “G – gue salah, ya kalo suka sama Gio?” tanyanya sesenggukkan. “Gue tau, kok kalo gue gak pantes buat Gio, tapi—”
            “Ssh, siapa yang bilang?” balas Danio lembut. Hatinya serasa seperti diremas saat melihat Vania menangisi orang yang tak pantas untuk ditangisi.
            “Gue minta maaf gue udah gak percaya sama lo. Gue kira Gio juga suka sama gue, tapi—”
            “Kenyataan emang selalu lebih pahit, kan?” ucapnya. Danio duduk di samping Vania. Dia menghirup udara dalam-dalam, kemudian melanjutkan, “Lo suka sama Gio, gak salah kalo lo lebih percaya dia daripada gue. Emang kadang manusia buta karena cinta, kan? Terus gak bisa ngebedain mana yang salah dan mana yang bener.”
            Vania tersenyum kecil meskipun air mata masih mengalir dari kedua matanya.
            “Makasih, Dan. Lo selalu nyelamatin gue. Lo udah nyelamatin gue dari gangguan anak-anak waktu kecil, lo nyelamatin gue dari rasa malu, lo nyelamatin gue dari guru, dan sekarang lo bahkan nyelamatin hati gue. Gue gak tau mau balas lo dengan gimana lagi.”
            Danio terdiam pelan, lalu berkata, “Balas gue dengan selalu percaya sama gue aja udah cukup.”
            Dan ini. Untuk inilah Danio tercipta dan masuk ke dalam kehidupan Vania. Sebagai penyelamat gadis itu karena ia memang berhak diselamatkan. Sebagai pelindung gadis itu karena ia memang pantas dilindungi.


Tidak lebih dan tidak akan pernah bisa lebih.