LiNa & ViSKa (3): Teror Untuk Guru Killer

LiNa & ViSKa (3): Teror Untuk Guru Killer

BAGIAN 1

Sekolah dimana Lina & Viska menuntut ilmu memiliki seorang guru Matematika yang terkenal kejam. Selain karena seorang pengajar Matematika yang membutuhkan keseriusan dalam pengajarannya, sikap dan karakter beliau juga tergolong tak kenal ampun dalam memberi nilai.
Soal ulangan dan ujian yang dikeluarkannya sangat rumit. Bila siswa sampai mendapatkan nilai di bawah standar, tak ada remedial yang diberikan. Bila siswa salah dalam menyelesaikan soal, tiada nilai 'upah tulis', tapi langsung dicoret dan diberi nilai 0.

Guru Matematika yang dijuluki anak-anak sebagai Guru Killer ini bernama Bu Shinta. Seorang wanita berusia hampir kepala empat, namun masih menjomblo dan belum ada yang melirik. Mungkin dikarenakan sifatnya yang judes kepada lelaki, jadi dia dijauhi. Terlebih sehari-harinya Bu Shinta selalu mengendarai sedan Toyota Corona tahun 90an ke sekolah, praktis telah membentangkan jarak dengan sesamanya.

Bukan itu saja. Sikap dan karakter Bu Shinta yang tiada ampun itu ternyata sangat tidak disukai oleh anak-anak di sekolah yang diajarnya. Terhitung banyak sekali kasus yang muncul bila jam pelajarannya tiba. Mulai dari bolos pelajaran, tidak masuk sekolah, hingga teror yang bersifat pribadi.

Sekitar tiga minggu terakhir ini, telah beredar kabar bahwa Bu Shinta mendapat teror berupa surat kaleng. Pagi itu, di ponsel Bu Shinta terdapat sms masuk.

"Empat kali peringatan! Empat kali kejadian! Empat minggu!!"

Semula Bu Shinta saat mendapat sms itu tak pernah mempedulikannya. Dia menganggapnya angin lalu. Walaupun dia sempat menelepon ke nomor pengirim sms, namun nomor tersebut sudah tidak aktif lagi. Hari itu hari senin, setelah upacara selesai.

"Tidak mungkin. Hanya anak-anak iseng. Biarkan saja." Gumam Bu Shinta saat sambungan ponsel tak terhubung.

Hari Rabu, dua hari setelah mendapat sms teror.

Siang hari jam istirahat makan siang, Bu Shinta mendapatkan di mejanya sebuah paket yang terbungkus kado rapi berpita hitam. Ditanya olehnya satu per satu guru disana, namun tak ada yang mengakui mengiriminya. Mereka mengatakan tidak ada yang memperhatikannya, karena ruang guru kebanyakan kosong tak ditempati saat guru-guru mengajar.

Penasaran, Bu Shinta membuka paket tersebut. "Aku tidak ulang tahun, kok bisa dikirimi paket ya?"

"AAAAAAHHHHH!!!!" Menjerit terpekik Bu Shinta sambil melempar kotak yang dibukanya itu. Dua ekor bangkai tikus terloncat keluar dari dalam kotak saat dia melepasnya karena terkejut.

"Tikus! Tikus! Tikusss!" Dengan panik, Bu Shinta menjerit dan meloncat-loncat di ruang guru yang seketika menjadi heboh. Oleh beberapa guru, paket berisi bangkai tikus itu diamankan. Namun, Bu Shinta sudah keburu shock.

Bel berbunyi. Pelajaran berikut berlanjut.

Tepat pada saat Bu Shinta berdiri dan ingin berjalan ke kelasnya, ponsel di mejanya berbunyi. Disambarnya ponselnya dan dibaca sms yang masuk tersebut.

"Apa Ibu sudah menerima hadiah tikus ini dengan baik? Satu peringatan! Tiga berjalan!"

"Si... Siapa?" Desis Bu Shinta sambil mengeluarkan keringat dingin. "Ini... ahh... Tidak mungkin..."

Tanpa mengambil pusing, Bu Shinta melanjutkan mengajar di kelasnya. Walaupun dalam hatinya dia sempat mencurigai 2 muridnya yang pernah diberikan pelajaran tambahan Matematika dan dimarahi dengan kata makian tikus. Nama kedua murid itu adalah Nita dan Maria dari kelas XII-IPS.

"Kalian berdua tak bedanya dengan tikus! Bisanya menunggu dan menyontek, tapi tak mau usaha sendiri! Tikus begitu tuh, mengintip dan tunggu ada makanan, dia datang. Apa bedanya dengan kalian?"

Walau kasus paket tikus mati itu sempat dibicarakan di ruang guru dan sebagian guru mulai berprasangka yang bukan-bukan, namun karena jadwal yang padat, maka mereka mulai melupakannya beberapa hari kemudian.
***

Minggu kedua, hari Selasa.

Ketika Bu Shinta mengajar di kelas XII-IPA, bangku guru yang didudukinya roboh dan beliau jatuh terjengkang di depan para siswa. Insiden yang memalukan itu membuat Bu Shinta malu dan tak melanjutkan pelajaran lagi, tapi menyerahkan kasus kepada Guru Bimbingan Penyuluhan.

Seluruh murid kelas XII-IPA diinterogasi. Saat diperiksa, ternyata kursi guru terdapat bekas yang sengaja dipotong dengan menggunakan gergaji. Dari tas murid kelas XII-IPA terdapat 2 murid yang membawa gergaji dan obeng. Keduanya dipanggil oleh Guru BP secara bersamaan dan diinterogasi lebih lanjut.

Aldi: "Saya membawa gergaji karena papa saya meminjamnya dari papa Nita. Karena gak sempat dikembalikan, jadi saya diminta membawa ke sekolah. Belum sempat saya bertemu Nita di XII-IPS, tapi sudah keburu kejadian."

Yanto: "Saya membawa obeng, karena motor saya sering mogok mendadak dari kemarin. Belum sempat ke bengkel. Jadi saya bawa obeng untuk berjaga-jaga kalau saya butuh membongkar mesin untuk mencegah macet."

Tak ada yang bisa dijadikan sebagai tersangka dari kasus itu. Sehingga guru BP kembali melepaskan keduanya.

Saat itu, di ruang guru, Bu Shinta mendapatkan lagi teror sms.

"Dua peringatan! Dua berjalan!! Berani laporan, nyawa jadi taruhan!!"

Terbelalak mata Bu Shinta melihat sms itu. Saat dihubungi, lagi-lagi ponsel tak terjangkau.

"Ini benar-benar tidak main-main. Ini benar-benar teror!" Gumamnya ketakutan. "Masih ada 2 minggu. Bagaimana ini? Apa kulaporkan kepada kepala sekolah saja ya?"

Menimbang kesana, Bu Shinta menemui Kepala Sekolah dan menyampaikan 2 kasus yang terjadi mendadak itu. Semula Kepala Sekolah tak mau menanggapi serius kasus teror surat kaleng tersebut, karena menurut beliau wajar saja bila ada anak-anak yang membenci sifat dan karakter Bu Shinta yang memang terkenal tiada ampun itu.

Namun seiring berkembangnya waktu, teror yang terjadi semakin merebak dan semakin parah.



BAGIAN 2


Minggu ketiga, hari Senin.
Di sela-sela jam kosong, Bu Shinta menyempatkan diri membeli makan siang untuk jatah makan siangnya hari ini. Saat itu jam pelajaran keempat dan murid-murid sedang berada di kelas.

Saat pulang membeli makan siang, Bu Shinta tergelincir di tangga dan kakinya bengkak karena terkilir. Hingga beliau harus diobati di klinik dan kembali dengan kaki dibungkus perban dan tangan luka memar yang telah diobati.

Saat diselidiki, ternyata tangga yang dilewatinya dilumuri minyak oli bekas kendaraan. Kasus itu pun menyeruak dan sekolah menjadi heboh. Guru-guru yang mengajar di jam pelajaran keempat diminta kerjasamanya dan setiap siswa yang selama jam pelajaran keempat berlangsung yang sempat keluar kelas, dipanggil ke ruang guru.

Enam orang siswa yang kebetulan keluar menjadi tersangka dalam kasus itu. Mereka adalah Adrian dari kelas X-1, Joe dari kelas X-2, Suherni dari kelas XI-IPA, Maria dari kelas XII-IPS, Aldi dan Yanto dari kelas XII-IPA. Saat diinterogasi, seperti biasa, tak ada yang mengakui dan mengetahui sama sekali tentang kasus yang terjadi itu. Akhirnya mereka dipulangkan ke kelas masing-masing.

Selang 10 menit kemudian, sms kembali masuk ke ponsel Bu Shinta, yang saat itu sedang berada di ruang Kepala Sekolah.

"Tiga peringatan! Satu berjalan! Menyenangkan!!"

Lalu disusul oleh sms berikutnya:

"Empat peringatan!! Selamat jalan!!"

Karena sudah tak tahan dengan teror itu, Bu Shinta langsung memperlihatkan sms teror itu kepada Kepala Sekolah. Kepala Sekolah langsung mengambil inisiatif menghubungi nomor ponsel pengirim, namun tak terhubung.

"Tak terhubung, Bu!" Kata Pak Sucipto, Kepala Sekolah. "Padahal selang belum lama. Tidak mungkin anak-anak mengganti dalam jangka waktu secepat ini."

"Pak, bagaimana kalau Bapak mengambil inisiatif tindakan memanggil semua murid-murid dan memeriksa ponsel mereka satu persatu." Usul Bu Shinta. "Mungkin saja dari sana akan ketahuan, siapa yang membawa ponsel lebih dari satu atau yang mengganti kartunya."

"Usul yang bagus, Bu!" Kata Pak Sucipto. Seketika, dia langsung menghubungi gerakan Sidak melalui speaker sekolah yang ditujukan kepada murid-murid SMA sekolah itu dengan dibantu oleh guru yang saat itu mengajar di kelas masing-masing.

Lina dan Viska terkejut mengetahui Sidak yang dilakukan seketika itu. Karena keduanya sudah diberikan kebebasan para guru untuk pemecahan kasus-kasus pelik di sekolah mereka, maka keduanya segera menuju ke ruang Kepala Sekolah.

Saat melihat Bu Shinta dalam keadaan terbalut perban, kedua siswi itu terkejut bukan main. Akhirnya Pak Sucipto dan Bu Shinta menceritakan kasus yang sebenarnya kepada mereka berdua.

"Pak, aku belum tahu siapa pelaku sebenarnya. Namun perkiraanku dia akan kembali muncul di ancamannya yang terakhir." Kata Lina. "Yang katanya akan mengincar nyawa Bu Shinta."

"Apa kalian ada rencana?" Tanya Pak Sucipto.

Lina mengangguk. "Kurasa Sidak kali ini juga percuma, Pak. Karena seorang teroris sudah pasti telah mengantisipasinya terlebih dulu sebelum kita menangkapnya."

"Jadi bagaimana rencanamu?" Kali ini Bu Shinta yang bertanya.

"Sidak tetap berjalan. Dari sana kita bisa lihat kemungkinan yang muncul. Namun kita tetap tunggu waktu satu minggu lagi sampai ancamannya terjadi." Lina menjelaskan.

"Saat itu aku dan Viska akan menangkap basah pelakunya." Sambung Lina lagi.

"Tapi katamu kamu belum tahu siapa pelakunya?" Pak Sucipto bertanya balik.

"Memang belum pasti. Tapi aku sudah bisa menduga siapa orangnya." Lina tersenyum. "Untuk kasus ini, aku sudah mengetahui jawabannya!"

"Siapa?" Tanya Pak Sucipto dan Bu Shinta bersamaan.

"Salah satu dari empat murid kelas XII, Aldi dan Yanto dari XII-IPA, juga Nita dan Maria dari XII-IPS." Lina berkata.

"Seperti yang saya duga, salah satu dari mereka." Sahut Bu Shinta mengangguk-angguk.

"Tapi Ibu tetap waspada." Lina berpesan. "Kalau dugaanku tidak salah, yang menjadi incaran berikutnya adalah..."

Lina terdiam sesaat. Baik Viska, Pak Sucipto ataupun Bu Shinta menatap gadis itu, menunggu lanjutan kalimatnya.



BAGIAN 3

Minggu keempat.

Setelah melewati empat hari tanpa ada kejadian yang berarti, akhirnya tibalah pada hari kelima yaitu hari Jum'at. Sekitar jam 9 pagi.

Pada saat jam pelajaran olahraga...

Seseorang tampak mengendap-endap ke tempat parkir di sekolah yang kebetulan berada di ruang bawah tanah. Dikarenakan gedung sekolah tersebut tergolong elit, tak heran pelataran parkir khusus guru dan karyawan diberikan tempat khusus yaitu di ruang bawah tanah.

"Siang ini, begitu kau menyalakan mesin dan menjalankan mobil..." Gumam sosok misterius itu. "Boom! Selamat tinggal, Bu Shinta!"

"Hahahaha..." Sosok itu tertawa dan berhenti tepat di depan sebuah mobil sedan tua, Toyota Corona keluaran tahun 90-an.

Sosok itu tampak melakukan sesuatu pada kaca mobil dan sesaat kemudian, dia berhasil membuka pintu mobil dengan mudah dan duduk di belakang kemudi.

Senyumnya semakin lebar saat tangannya dengan sigapnya mengutak-atik kabel di bawah kemudi mobil tersebut.

"Sudah kuduga pelakunya akan muncul!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara tak jauh dari sosok yang sedang mengutak-atik mobil itu.

Suara itu membuat sosok itu menengok dengan terburu-buru dan wajahnya tampak terkejut, sementara tangannya yang sedang memegang kabel terhenti!

"Ka...Kaa...Ka..." Dengan gerakan cepat, sosok itu berdiri dan mendorong pemilik suara yang baru datang itu. Begitu melihat orang yang didorong termundur ke belakang, sosok itu pun melarikan dirinya.

"Aahhh!!" Orang yang didorong olehnya terkejut, namun tak kehilangan akal dia menjerit.

"Viska! Dia kabur!" Teriak orang yang didorong.

Di sudut sebuah tiang, Viska yang sudah bersiap-siap melihat temannya didorong sosok itu, melihat kedatangan target yang mereka incar itu mendekat.

Dengan nafas memburu dan wajah panik yang sesekali menengok ke belakang, sosok itu terus berlari, sesaat lagi akan melewati tiang dimana Viska bersembunyi.

Saat sosok itu berlari melewati tiang, Viska menjulurkan kakinya tepat di depan sosok yang sedang berlari. Juluran kakinya yang mendadak itu membuat sosok tersebut tersentak kaget, kehilangan keseimbangan dan...

BRUKKK!!

Jatuh di tanah dengan posisi terjerembab.

Panik dengan apa yang terjadi, sosok itu mencoba bangun dari jatuhnya dan berniat lari kembali. Namun Viska sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan cepat, gadis tomboy itu menarik kedua lengan sosok itu dan meringkusnya dengan cepat.

"Lepaskan! Lepaskan aku!!" Sosok itu menjerit dan meronta saat Viska berhasil meringkus kedua tangannya dan menelikungnya di belakang punggungnya.

Pada saat yang bersamaan, dari dua penjuru berbeda, bermunculanlah 4 orang yang langsung mengepung di tempat itu, salah satunya yang sempat didorong sosok itu.

"Sudah kuduga kamu pelakunya." Kata orang yang sempat didorong sebelumnya, yang bukan lain adalah Lina adanya.

"Lepaskan aku!" Sosok itu masih meronta dari pegangan Viska yang kuat itu.

3 orang lainnya yang berdiri di samping Lina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka adalah Bu Shinta, guru killer yang menjadi korban, Kepala Sekolah dan Guru Wali Kelas XII-IPA.

"Atas dasar apa kamu melakukan semua teror ini?" Tanya Kepala Sekolah kepada muridnya.

"Saya tidak suka dengan cara mengajar Bu Shinta! Sampah! Semua murid dianggapnya sampah! Mentang-mentang dirinya hebat Matematika, tak ada satupun yang dapat bagus darinya!"

"Yang mengirim tikus itu, apa itu juga kamu?" Kali ini Bu Shinta yang bertanya.

"Ya, Bu. Yang mengirim tikus adalah dia." Ujar Lina.

"Saya tidak suka Ibu mengatai Nita dan Maria sebagai tikus!" Jawab sosok ini lagi.

"Tapi kamu kan dari XII-IPA, sedang Nita dan Maria anak XII-IPS?" Tanya guru wali kelas XII-IPA.

"Itu karena gergaji, Pak." Lina menjawab. "Dia mengetahui kalau Aldi dititipkan ayahnya sebuah gergaji untuk dikembalikan kepada Nita di XII-IPS. Dengan dalih dia meminjam gergaji itu dan berkata kepada Aldi bahwa dia akan mengembalikannya sendiri kepada Nita, jadi dia menggunakan gergaji tersebut untuk merusak bangku yang akan diduduki Bu Shinta."

"Pada saat gergaji dikembalikan kepada Nita di XII-IPS, mungkin Nita sempat bertanya kepadanya kenapa gergaji itu bisa ada padanya. Lalu dijelaskannya. Mungkin dia menjawab begini."

"Buat ngerjain seseorang yang kita semua benci,"

"Bisa saja Nita bertanya kepadanya siapa orang tersebut. Lalu dijelaskanlah siapa orangnya. Karena waktunya pendek, Nita tak sempat memperingatkan anak-anak XII-IPA tentang bangku yang telah dikerjain olehnya. Bisa juga, Nita diancam olehnya bila memberitahu. Bisa juga, karena Nita juga kesal kepada Bu Shinta, jadi dianggapnya itu sebagai pembalasan setimpal. Jadi Nita diam saja. Dan waktu Bu Shinta duduk di bangku tersebut, kejadianlah." Sambung Lina.

"Lalu apa hubungannya dengan tikus?" Tanya Bu Shinta.

"Ada." Lina mengangguk. "Pada saat Nita mengetahui Bu Shinta yang menjadi sasaran, karena Nita juga kesal dengan Bu Shinta, maka dia tahu kalau Nita pernah dikatai Bu Shinta dengan kata makian tikus."

"Tapi kan kejadiannya teror tikus dulu, baru bangku rusak." Kata Kepala Sekolah. "Kalau dari ceritamu, semestinya gergajinya sudah dikembalikan kepada Shinta. Jadi harusnya, bangku yang rusak dulu baru teror tikus."

"Hayo, Lina! Berikan analisismu yang terkenal itu! Saya bisa membuktikan kalau saya tidak bersalah!" Sahut sosok itu dengan keras menantang Lina. "Teror tikus terlebih dulu sampai, baru bangku rusak! Tapi buktinya gergajinya sudah terlebih dulu dikembalikan baru saya mengetahui dari Nita tentang tikus."

"Begitu ya?" Lina menatapnya. "Sebenarnya itu tidak sulit. Ada dua kemungkinan yang bisa diberikan dalam kasus ini."

"Pertama, kebanyakan wanita takut akan tikus!" Lanjut Lina. "Jadi jika kemudian Bu Lina dikirimi tikus, itu adalah suatu hal yang wajar."

"Itu tidak bisa menjadi alibi kuat!" Tantang sosok itu lagi.

"Kedua," Kata Lina. "Aldi pernah mengatakan seperti ini. 'Saya membawa gergaji karena papa saya meminjamnya dari papa Nita. Karena nggak sempat dikembalikan, jadi saya diminta membawa ke sekolah. Belum sempat saya bertemu Nita di XII-IPS, tapi sudah keburu kejadian.' Tepatnya pada pengakuannya setelah kejadian bangku patah hari Selasa dua minggu sebelumnya."

"Kejadian yang selanjutnya, apakah ada yang mengetahuinya?" Lina bertanya. Semua yang berdiri di sana, kecuali sosok yang dipegang Viska, menggeleng.



"Kalau begitu kupanggil orangnya." Kata Lina. Lalu dengan suara yang dikeraskan, gadis itu berkata, "Aldi, waktumu keluar."

Semua terperanjat mendengar perkataan Lina. Semua mata memandang ke sosok seorang yang melangkah keluar dari balik sebuah mobilminibus, dialah Aldi, yang telah bersembunyi sejak lama dan menunggu instruksi dari Lina untuk bergabung dengan mereka.

"Aldi, bisa tolong berikan keteranganmu tentang gergaji itu." Kata Lina setelah Aldi bergabung dengan mereka.

Sebelum menjawab, Aldi menatap mata temannya yang diringkus Viska itu. "Dalam pengakuanku hari itu aku memang mengatakan, bahwa aku membawa gergaji karena papa meminjamnya dari papa Nita. Karena gak sempat dikembalikan, jadi aku diminta membawa ke sekolah. Namun belum sempat bertemu Nita, kasuspun terjadi."

Aldi terdiam sejenak. Dia kembali menatap temannya. "Itu sebenarnya sudah kedua kalinya aku mengembalikannya kepada Nita. Seminggu sebelumnya, papa juga telah meminjam dari papa Nita dan memintaku membawanya ke sekolah untuk diberikan kepada Nita."

"Minggu pertama, gergajiku dipinjam olehnya," Aldi menunjuk temannya. "Dan dia mengembalikannya langsung kepada Nita. Minggu kedua, aku sendiri yang mengembalikannya."

"Jadi sudah jelas kan kalau di minggu pertama, dia bisa mengetahui dari Nita kalau Bu Shinta pernah mengatainya dengan umpatan tikus." Lina menyambung penjelasan Aldi. "Makanya teror tikus terjadi. Dengan alasan, Bu Shinta pasti tidak berpikir pelaku sebenarnya, namun akan kepada Nita atau Maria di XII-IPS."

"Dan minggu kedua, Aldi yang mengembalikannya sendiri kepada Nita. Namun momen itu kembali dimanfaatkan olehnya dengan memotong bangku kelas. Setelah melakukannya, gergaji dikembalikan kepada Aldi. Alasannya jelas, supaya semuanya berpikir Aldi-lah pelakunya." Lanjut Lina.

"Untuk teror minggu ketiga, petunjuk di tangga tentang minyak bekas yang dilumuri disana sudah jelas adalah minyak motornya yang dikatakan seminggu sebelumnya mogok dan belum sempat dibuka mesinnya."

"Tapi, Lina, itu kan pada saat pelajaran berlangsung, bagaimana mungkin dia bisa melakukannya?" Tanya guru wali kelas XII-IPA.

"Itu mudah saja." Lina menatapnya. "Dengan meminta ijin buang air kecil, dia bisa dengan mudah mengambil kaleng minyak yang sebelumnya sudah disembunyikan di suatu tempat tertentu yang hanya dia yang tahu, dan lalu dia melakukannya pada saat dia mengetahui Bu Shinta keluar ruang guru dan akan kembali melalui jalan yang sama. Kesempatan itu dia pergunakan untuk melumuri tangga dengan minyak dan karena keadaan yang tenang saat belajar, itu memungkinkannya untuk melakukan aksinya tanpa ada yang mengetahui."

"Bukankah begitu, Yanto?" Lina menatap sosok yang diringkus Viska sambil tersenyum.

"Si...Sial...." Sosok yang ternyata adalah Yanto itu mengumpat kesal dan melotot ke arah Lina.

"Atas perbuatan kamu mencoba mencelakakan Bu Shinta, kasusmu dilimpahkan kepada wali kelas dan guru BP. Biar mereka yang mengurus kasusmu." Kata Kepala Sekolah mengambil alih pembicaraan.

Akhirnya, Yanto mengakui perbuatannya. Dia diskorsing selama 2 minggu atas perbuatannya itu. Sementara Bu Shinta berjanji akan mengubah sifat dan karakternya ke arah yang lebih baik dan lebih bersahabat dengan murid-murid.

LiNa & ViSKa (3): Kasus Teror Untuk Guru Killer
TAMAT



=====================================================
Nantikan serial LiNa & ViSKa (4): Kasus Terbakarnya Gudang Tua