Cerbung Kismis (Kamis Misteri): Sekolah Berhantu


Based on a true story (Berdasarkan sebuah kisah nyata)

Kudengar suara itu memanggil namaku. Sayup dan terdengar menghilang diterpa angin. Aku tak memperdulikannya. Kuteruskan langkahku. Suara itu terdengar kembali. Kali ini lebih jelas, lebih nyata, lebih membahana. Aku pun berhenti, bermaksud mendengar lebih jelas lagi. Namun suara itu menjauh, menghilang....


BAGIAN 1

Namaku Adam. Aku baru saja dipindahkan ke sebuah sekolah Katolik di daerah Cibubur, Bogor. Setelah kepergian papa karena sakit kanker, aku, mama dan adikku harus mengungsi ke rumah saudara di kawasan Bogor. Mama yang usianya sudah kepala empat, hanyalah seorang wanita yang bekerja sebagai seorang pegawai administrasi di sebuah kantor di Jakarta. Gaji yang diperolehnya tidaklah cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup kami bertiga. Oleh karenanya, atas usul dari paman yang adalah adik mama, kami bertiga pindah dan tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah yang tergolong cukup besar di perumahan Kota Wisata, Cibubur.

Dengan menumpang nama pamanku, yang bekerja sebagai seorang guru SMP di sekolah tempatku menuntut ilmu sekarang, aku dan adikku mendapat keringanan pembayaran uang sekolah. Praktis, biaya hidup yang harus ditanggung oleh mama menjadi berkurang dan lebih ringan.

Di usiaku yang baru menginjak 15 tahun, aku sudah diberi takdir memiliki indra keenam: mampu melihat dan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk halus. Bagi sebagian orang, kelebihanku itu adalah anugrah. Namun bagiku tidak lain hanyalah sebuah kutukan.

Bagaimana tidak. Di usiaku yang masih sangat belia, aku diharuskan melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa melihatnya. Terlebih aku selalu dibayangi ketakutan akan wajah-wajah dan bentuk makhluk-makhluk halus tersebut yang jelas-jelas adalah berantakan, bahkan sangat berantakan.

Ada yang berjalan dengan hanya badan tanpa kepala, ada yang wajahnya hancur bekas tertabrak dengan kedua biji mata mendelik keluar dengan urat-urat dan darah yang masih mengalir dan mengering, ada juga kepala yang dengan mendadak muncul dari meja yang sedang kupakai untuk menulis. Semuanya hanya bisa kusimpulkan satu: wajah mereka pucat tak berdarah, dan rambut mereka - bila memang masih ada - selalu berantakan tak beraturan.

Tak terhitung entah sudah berapa banyak penampakan yang kulihat selama aku mendapatkan kelebihan ini. Kelebihan yang datang secara tidak sengaja sejak kematian kakek yang sangat menyayangiku. Orang tuaku bilang, kakek menurunkan kelebihannya kepadaku. Selang 3 bulan setelah kakek meninggal, papaku pun diajaknya.

Aku sebenarnya sudah bosan dan ingin hidup normal seperti manusia lainnya. Namun, aku tak bisa. Walau aku sudah memohon setiap malam kepada Tuhan agar kutukan ini ditarik dan dihilangkan dariku, namun bukannya menghilang, malah semakin nyata kurasakan. Karena semakin menjadi, aku menjadi mulai terbiasa dengan apa yang kulihat. Entah sudah berapa kejadian kualami seiring dengan kemampuanku yang bisa melihat hal-hal gaib ini. Seperti yang kurasakan di sekolah baru ini.

Pagi ini adalah hari pertama aku dan adikku masuk ke sekolah baru. Aku kelas 3 SMP dan adikku, Andine, 13 tahun, kelas 1 SMP. Kami berdua ikut dengan mobil paman ke sekolah. Kami turun begitu paman mematikan mesin mobil Vitara-nya dan menutup pintunya.

"Akan saya antar kalian sampai ke kelas masing-masing." Begitu pamanku berkata ketika kami melintasi lorong yang menghubungkan gerbang dengan bagian depan sekolah.
Waktu di jam dinding tiang sekolah yang menjulang tinggi ke angkasa saat itu adalah pukul 6:20 pagi.

Berjalan kami menaiki tangga menuju lantai dua yang adalah untuk tingkat SMP. Ketika aku sedang berjalan bersama dengan paman dan adikku, sebuah bayangan berkelebat di depanku. Aku tak berniat melihatnya, namun bayangan itu tidak mau pergi, malah berputar-putar di depan wajahku. Hanya sekelebatan bayangan, namun tak jelas dilihat mata.

Aku mulai kesal ketika bayangan itu mengikutiku, bahkan ketika kami sampai di sebuah hall besar. 'Mengganggu sekali, apa ini?' Begitu bathinku.

"Heh, kau bisa melihatku kan? Aku sudah tahu kalau kau bisa melihatku." Terdengar sebuah suara yang hanya bisa didengar olehku. Suara seorang laki-laki kecil. Kulihat paman sedang berbicara kepada adikku, berarti mereka tidak mengetahui kalau diriku sedang berbicara, atau tepatnya diajak berbicara oleh sebuah bayangan yang melayang di depan wajahku.

"Kamu siapa?" Tanyaku kepada bayangan itu. Tentunya dalam hati. Berbicara dengan makhluk halus tidak pernah dilakukan dengan mulut, tidak seperti manusia yang masih hidup. Namun cukup dengan bathin dan dalam hati, mereka sudah dapat berkomunikasi dengan kita.

"Aku? Hehehe..." Bayangan itu tertawa. Bayangan di depan wajahku mendadak sirna, berganti dengan sebuah kepulan asap kecil dan dari sela-sela asap keluarlah sebuah kepala kecil dengan sehelai rambut di ujung kepalanya, namun selebihnya tak berambut alias botak.

Aku tak dapat menahan tertawaku melihat kemunculan wajahnya. Bukan rambut itu saja yang membuat wajahnya menjadi lucu, tapi lebih dikarenakan wajahnya yang memang lonjong dan sudah lucu.

"Adam, kamu tertawa apa, Nak?" Tahu-tahu pamanku yang berjalan di sampingku menoleh menatapku dengan bingung. "Kenapa tiba-tiba kamu tertawa sendiri?"

Andine juga menghentikan langkahnya dan melihatku. Adikku ini belum mengetahui kelebihanku. Hanya papaku yang mengetahuinya.

"Oh, tidak, tidak apa-apa kok, Om," Jawabku. Kutunjuk saja sembarang anak yang sedang berlari di sekitar sana. "Lucu lihat dia diledek teman-temannya."

"Kak Adam mengingau lagi, Om." Kata Andine. Dia sudah berada di depan kelasnya dan melangkah masuk ke dalam bergabung bersama teman-temannya.

"Itu kelasmu, Adam." Pamanku berkata sambil menunjuk pintu yang sedang terbuka di seberang kanan kelas tempat kami sedang berdiri. "Saya langsung ke ruang guru."

"Terima kasih, Om." Sahutku sambil bersiap melangkah.

"Sudah lihat kan?" Terdengar suara tadi lagi. Sampai saat itu bayangan itu masih mengikutiku. "Jadi namamu Adam ya."

"Kamu siapa? Kenapa mengikutiku terus?" Tanyaku mulai kesal.

"Kamu boleh panggil aku Bolu." Kata anak itu.

Aku kembali tertawa, kali ini mendengar perkataannya. "Bolu?"

"Ya, botak lucu." Kepulan asap kembali terjadi di depan mataku. Mau tak mau aku berhenti dan melihat lebih lanjut. Ternyata anak itu menampakkan sosoknya dalam bentuk badan keseluruhan.

Tubuhnya kecil kurus dengan kulit sawo matang, seperti anak berumur 3 tahun. Dengan kaos putih dekil dan celana pendek, sosok bernama Bolu melayang-layang di depanku.

"Kenapa kamu mengikutiku?" Tanyaku setelah mengetahui sosoknya yang sebenarnya.

"Aku?" Bolu menunjuk hidungnya sendiri. "Nanti kamu juga akan tahu kenapa aku mengikutimu."

"Kenapa musti nanti? Kenapa tidak sekarang saja?" Tanyaku lagi. Aku mulai penasaran dengan jawabannya yang bagiku bagaikan sebuah teka-teki.

"Karena belum waktunya." Jawab Bolu dengan ringannya.

Saat itu sekelebatan bayangan putih melintas dengan cepat di antara kerumunan murid-murid. Kelebatannya membuat mataku menoleh melihatnya, namun saat aku ingin melihat lebih jelas, bayangan itu menghilang ke dalam sebuah tembok yang menjadi dinding sebuah kelas. Sekilas bayangan tersisa yang sempat kulihat tadi seperti berpakaian serba putih.

"Apa itu tadi?" Gumamku tak jelas.

"Kamu juga melihatnya ya?" Tanya Bolu yang sekarang telah berada di sampingku, melayang di atas pundakku.

"Dia... dia menghilang di balik tembok." Kataku. Penasaran, aku berlari ke kelas yang dibalik tembok tadi bayangan serba putih tadi menghilang. Saat kuperiksa lebih lanjut, tak ada bekas atau tanda-tanda kemunculan bayangan itu disana.

Kulihat ke sekeliling ruangan kelas, berharap bisa mendapat jawaban kemana bayangan itu menghilang. Namun yang kulihat hanya teman-teman berseragam sama seperti yang sedang kupakai.

"Kemana dia?" Gumamku. "Menghilang..."

"Ya, begitulah dia." Jawab Bolu dengan tenang.

"Dia?" Aku menoleh menatap Bolu. "Kamu kenal dia?"



BAGIAN 2


Bolu tertawa. "Ya, pastilah. Secara aku telah berada disini cukup lama."


TENG!!


Terdengar bel berdentang saat itu, pertanda jam pelajaran pertama pun dimulai. Aku segera keluar dari kelas dimana aku berada dan berlari menuju kelasku. Hampir semua bangku telah terisi, hanya tersisa tiga bangku bagian depan yang masih kosong. Mau tak mau aku pun duduk di bangku tengah dari tiga bangku kosong tersebut.


Bolu duduk bangku kosong di samping kiriku. Wajahnya menyengir menampakkan giginya yang ternyata masih putih itu.


Aku menoleh. "Ngapain disini?"


"Aku kan juga ingin belajar. Memangnya manusia saja yang boleh belajar." Jawab Bolu sekenanya.


"Enak ya bisa belajar gratis," Kataku lagi.


"Iya lah. Makanya jadi hantu aja ya. Bisa dapat fasilitas gratis tis tis..." Jawab Bolu lagi sambil menyengir.


"Enak amat kalau ngomong." Aku membentak ketus. Dibentak begitu, Bolu semakin lebar cengirannya.


"Adam, coba kau lihat nanti deh." Bolu masih meneruskan perkataannya. "Gurumu yang akan masuk nanti adalah guru wanita. Namanya Dina. Tapi..."


"Tapi apa?" Tanyaku. Kenapa Si Bolu bisanya membuat orang penasaran saja.


"Tapi nanti akan kau lihat sendiri." Ujarnya. "Jangan kaget ya."


"Jangan kaget?" Kataku. "Apa maksudnya?"


Seakan menjawab pertanyaanku itu, pintu kelas membuka. Suasana yang tadinya masih ribut, mendadak menjadi hening. Seorang wanita bertubuh ramping tinggi, dengan rambut bergelombang sepunggung melangkah masuk. Di tangannya dikempit sejumlah buku.


"Cantik juga." Bathinku. Kulihat guruku itu melangkah memasuki ruangan kelas kami.


Aku duduk di barisan depan agak di sebelah kiri kelas, sehingga membutuhkan waktu untuk bisa melihat jelas guru yang melangkah masuk itu. Namun ada satu hal yang membuatku tertarik dan tak bisa memalingkan kepala. Bukan kecantikannya, bukan pula ramping badannya.


Pada saat dia melangkah, aku melihat seperti ada keanehan. Langkahnya, tidak seperti langkah manusia pada umumnya. Namun, lebih seperti sedang diseret kedua kakinya.


Aku harus menunggu sampai guruku tiba di meja guru di depanku, meletakkan buku-buku yang dikempitnya, baru aku menyadari keanehan yang kubilang tadi.


Aku mengedipkan mata, tak percaya pada penglihatanku sendiri. Saat itu kulihat, di belakang guruku, sesosok tubuh wanita, menempel tepat di badannya. Badan menempel badan, tangan menempel tangan. Sedangkan kepalanya tertunduk sehingga wajahnya tak terlihat jelas walaupun aku mencoba untuk melihatnya.


Sekilas bila dilihat dengan mata telanjang, kedua kaki guruku seperti menginjak tanah, namun kenyataannya tidak. Dengan mata bathinku, kakinya terlihat tidak menginjak tanah. Melainkan sedang ditumpang di atas sepasang kaki pucat.


Kaki milik sosok wanita yang menempel di belakang badannya itu...



BAGIAN 3


"Itu... Itu..." Aku terbelalak melihat posisi badan itu. Dari yang pernah kutahu dan berdasarkan pengalaman yang pernah kudapat, posisi badan yang ditumpangi makhluk halus seperti itu adalah posisi badan kemasukan atau kesurupan.


Ibu guru memandang kami semua. Tatapannya, entah hanya karena perasaanku karena aku bisa melihat lebih dari orang normal atau mungkin memang begitu kenyataannya, tajam memandang kami semua. Tak ada satupun dari kami yang berani berbicara ditatap seperti itu.


"Tatapan matanya aneh," Kataku dalam hati. "Itu bukan tatapan manusia."


"Tentu saja bukan." Sahut Bolu cengar cengir di sampingku.


Seperti merasa diperhatikan, sosok wanita berambut panjang yang menumpang di belakang guruku itu, mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Perlahan, kepalanya berputar dan wajahnya menatap kami berdua.


Walaupun aku sudah sering melihat wajah-wajah hantu, namun tak urung aku terlompat juga dari dudukku saat wajah itu menatapku. Nyaris saja aku berteriak saking kagetnya. Wajah wanita itu putih, pucat, tak berdarah. Kedua matanya merah menyala, rambut panjangnya terurai berantakan di antara baju putihnya yang juga terurai panjang menyeka tanah.


Darah segar masih menetes dari sela-sela bibirnya. Anehnya, tak ada tetesan sedikitpun yang jatuh ke atas lantai kelas saat itu.


"Kamu kenapa?" Terdengar suara guruku memanggilku saat aku melompat kaget itu. Seluruh mata di dalam kelas berpindah menatapku. Aku tahu teman-temanku tak bisa mendengarnya, namun bagiku suara guruku terasa dingin dan mendirikan bulu roma.


"Maaf, Bu." Kataku. Mataku masih menatap sosok di belakangnya. Sosok yang memelototiku dengan mata merahnya.


"Kamu bisa melihatku?! Apa yang kamu lihat?!!" Hantu wanita itu berdesis pelan, namun cukup untuk bisa kudengar.


Saat itu guruku telah berbicara dengan suara dinginnya, menjelaskan peraturan kelas dan segala yang berhubungan dengan pelajaran selama setahun ke depan. Karena berada di barisan terdepan, aku tak perlu memandang guruku setiap kali dia berjalan mengelilingi kelas sambil menjelaskan.


"Kenapa kamu menumpangnya?" Tanyaku kepada hantu wanita itu.


"Diam!! Bukan urusanmu!!" Bentaknya. Terhenyak aku sesaat mendengarnya.


Segumpal asap halus terbang di atas kepala guruku. Kehadirannya membuat hantu wanita itu seperti terusik. Dia menatapnya dengan matanya yang melotot merah. Ketika kulirik bangku di sampingku, benar saja. Bolu telah tak berada disana lagi saat itu.


"Namanya Marini." Aku mendengar suara Bolu. "Mati penasaran di sekolah ini."


"Aaaarrrgggghhhhhhhhh......" Kulihat hantu itu membuka mulutnya dan berteriak. Suara teriakan yang hanya bisa didengar olehku dan Bolu. "Diam kau, botak sial!"


"Hehehe... Aku Bolu, Botak Lucu, bukan Bosi, Botak Sial!" Bolu kembali terbang berputar-putar di atas kepala guruku, mengganggu keberadaan hantu wanita itu.


"Kenapa kau mengganggunya?" Tanyaku lagi.


"Manusia berisik!!" Tahu-tahu hantu wanita yang bernama Marini itu menjulurkan tangannya yang berkuku panjang ke arah wajahku!!


Aku menghindar dengan menggerakkan kepalaku ke belakang. Namun, gerakanku yang tak biasa itu menarik perhatian semua yang berada di kelas, terutama guruku, Bu Dina.


"Aneh!" Kataku. "Padahal dia masih menempel di badan ibu, dan jarakku dengan ibut tidak dekat, tapi kenapa dia bisa mencakarku?"


"Kamu! Maju kesini!" Terdengar suara Bu Dina berkata.


"I..Iya, Bu." Kataku sambil berdiri dari dudukku dan mendekati Bu Dina yang berdiri di balik mejanya itu.


"Siapa namamu?" Tanyanya. Kulihat Marini memelototiku dengan tatapan marahnya.


"Adam, Bu." Jawabku. Mataku tak memperhatikan Bu Dina, tapi Marini. Takut dia bergerak mendadak lagi.


"Kamu anak baru itu?" Tanya Bu Dina lagi.


Aku mengangguk. Sebuah bisikan terdengar di telingaku saat itu.


"Bu Dina sedang mens, badannya kotor. Tadi di toilet darahnya menetes. Pembalutnya dibuang begitu saja di tong sampah dan Marini yang menghuni disana tidak senang."


Bolu berkata seakan melapor padaku. Marini hanya bisa memelototi perbuatannya saat itu.


"Begitu." Kataku dalam hati.


"Kenapa kamu bertingkah aneh barusan?" Terdengar suara Bu Dina mengalihkan pembicaraanku. "Sudah dua kali sejak saya masuk kesini."


"Maaf, Bu." Kataku. Tak mungkin aku menjelaskan alasannya. "Saya..."


"Sudah!! Duduk sana! Sekali lagi saya lihat kamu bertingkah aneh, saya bawa kamu ke ruang kepada guru. Mengerti?"


Aku mengangguk. "Mengerti, Bu." Lalu aku kembali ke tempat dudukku dan Bu Dina kembali melanjutkan penjelasannya.


"Bolu." Kataku dalam hati ketika aku duduk lagi di bangkuku. "Aku lihat Marini tidak berani membalas apa yang kamu katakan. Dia takut padamu?"


Bukannya menjawab, Bolu malah terkekeh terlebih dulu. "Mana berani Marini kepadaku? Aku tahu kelemahannya."


"Pantas saja!" Kataku lagi. Setidaknya aku sudah mendapatkan satu kekuatan untuk melawan Marini. "Apa itu?"


"Air kencing." Bolu terkekeh lagi.


"Air kencing?" Aku mengernyitkan kening. "Di toilet semua juga ada air kencing kan?"


"Itu toilet wanita." Bolu tertawa. "Marini takut dengan kencing laki-laki. Ilmunya akan hilang selama beberapa hari bila tersiram."


"Oh begitu." Aku tersenyum menatap Marini. "Aku sudah tahu kelemahanmu. Jadi jangan macam-macam ya. Aku juga laki-laki."


Raut wajah pucat Marini yang tadinya terkesan galak dan menyeramkan, kini berubah menjadi mengiba.

"Apa maumu?" Tanyanya dengan suara pelan. Kedua matanya tak lagi melotot.


BAGIAN 4

"Aku mau tahu kenapa kamu menumpang badan Bu Dina?" Tanyaku kepada Marini.

Marini tak menjawab, hanya tatapan mata dingin yang menusuk ditujukan kepadaku.

"Kenapa?" Tanyaku lagi. Masih tak ada jawaban. Makhluk halus seperti itu biasanya tak pernah akur dengan manusia, selalu ingin menentang karena merasa mereka lebih hebat dari manusia.

"Kalau dia tak mau menjawab, siap-siap saja kencingmu tuh..." Bolu menyeletuk dengan mendadak.

Marini menggeram. Pandangannya marah menatap Bolu. "Badannya kotor. Aku menginginkan darahnya." Sahutnya pada akhirnya. "Tempat tinggalku kotor dengan darahnya."

"Menginginkan darahnya?" Tanyaku.

"Dia harus membayarnya!" Desis Marini dingin. "Akan kuminum saat dia berdarah lagi. Jadi tempatku tidak tercemar!"

Sebuah jawaban yang membuat bulu kuduk berdiri bagi yang mendengarnya. Aku tak tahu bila manusia biasa mendengarnya, yang pasti aku sendiri sempat bergidik karenanya. Tak ada kata-kata yang bisa kukeluarkan. Suaraku seperti tercekat di tenggorokan.

"Saya juga ingin mengenalkan seorang teman baru kalian." Kata Bu Dina menatapku. "Berdiri dan perkenalkan dirimu kepada teman-temanmu disini."

Aku berdiri dari dudukku. Kubalikkan badanku agar bisa melihat semua teman-temanku dan memberikan perkenalan singkat kepada mereka.

Saat aku memperkenalkan diriku, kulihat Marini menatapku dengan penuh kebencian. Mata merahnya seperti bara api yang siap menghanguskan badanku.

Bunyi bel pelajaran membuatku tercekat. Suaranya yang keras membuatku seperti tersadar dari lamunan. Ibarat terbangun dari mimpi ditatap seperti itu oleh Marini. Ternyata sudah 40 menit berlalu.

Bu Dina telah menyuruhku duduk dan kembali dia masih berceloteh panjang lebar.

"Tinggal 40 menit lagi," Terdengar suara Bolu mengiang di telingaku, namun wujudnya tak telihat.

"Apa artinya?" Tanyaku.

"Akan terjadi sesuatu pada gurumu bila kau tak menghentikan Marini." Entah mengapa suara Bolu semakin lama semakin menghilang. Saat aku melirik ke arah Marini, hantu wanita itu menyeringai seperti menantangku.

"Keluarkan buku kalian dan buka halaman pertama!" Aku mendengar Bu Dina berkata. Menurutinya, aku pun membuka buku yang telah kuletakkan sebelumnya di mejaku.

"Bolu, dimana kamu?" Tanyaku, berharap Bolu ada disana saat itu. Entah kenapa aku mendadak diserang perasaan takut. Jantungku mendadak berdegup kencang.

"Aku pergi dulu, ada urusan." Terdengar sebuah suara yang pelan, seperti berada di tempat yang jauh.

"Ini... Ini bagaimana?" Tanyaku kebingungan sambil mengambil pena dan menulis di atas bukuku. Ibu Dina masih terus memberi penjelasan. "Apa yang harus kulakukan?"

"Itu urusanmu, bukan urusanku." Sahut Bolu lagi.

"Ahhh..." Aku mengeluh, tapi tak dapat berbuat banyak. Tak mungkin aku memberitahu Bu Dina yang sebenarnya. Aku yakin beliau takkan percaya padaku. Bahkan bisa jadi aku yang dicap gila olehnya. Dan bila hal ini sampai menyebar ke satu sekolah, tamatlah riwayatku. Mungkin juga Paman dan adikku akan kena imbasnya.

"Tidak. Aku tidak boleh mengatakan semua ini!" Kataku pada diriku sendiri. Kucoba memfokuskan diri pada pekerjaan yang diberikan guruku.

"Tapi aku tak mungkin diam membiarkan ini terjadi." Hatiku kembali bergolak. Kembali aku berkonsentrasi pada pekerjaanku.

Tak bisa lama. Konflik bathin kembali terjadi.

"Kau mau apa yang kau tahu dan bisa kau cegah, malah justru terjadi karena kau tak berbuat apa-apa?"

"Lakukan saja dan kau akan dianggap tidak waras!"

"Cegahlah selagi masih ada waktu. Sebelum semuanya terlambat."

"Untuk apa kau lakukan itu? Ingin menampang dengan kelebihanmu? Bukan kau yang dipuji, tapi kau justru yang dikucilkan."

Aku mulai terusik, pikiranku mulai kemana-mana. Tanganku terhenti menulis. Konsentrasiku mulai buyar.

"Adam, ingat. Kau sudah tahu dan bisa mencegahnya. Mengapa diam saja? Lakukan sesuatu!"

"Sekali kau melakukan, selamanya kau akan menanggungnya!!"

"AAAAKKHHHH!!!!!" Aku tak tahan lagi. Sambil menjerit, aku menjambak rambutku sendiri.

Tapi aku salah, aku baru menyadari aku telah salah melakukannya. Setelah jeritanku itu, semua teman-teman dan juga Bu Dina menatapku, semua pandangan tertuju padaku.

"Gawat!!" Kataku. Kulihat ke sekeliling dengan pandangan pucat.

Benar saja. Bu Dina yang sedari tadi duduk di belakang mejanya, kini telah berdiri dan mendekatiku. Di belakangnya, Marini tersenyum menyeringai.

"Adam! Masih ingat apa kata Ibu tadi?" Bu Dina berkata kepadaku.

"Tapi, Bu..." Aku mencoba protes, tak mau aku dibawa ke ruang guru hanya karena aku melakukan itu. Aku kan tidak salah besar.

"Hihihi... Percuma saja! Kau takkan bisa menang! Pikirannya sudah kurasuki!" Terdengar suara bathin Marini. "Hihihihihi..."

"Sekarang juga kamu ke kantor guru!!" Kata Bu Dina dengan suara dingin.

Apa yang bisa kulakukan? Menolaknya? Bisa lebih parah lagi kalau aku melakukan itu. Pilihanku hanya satu, menurut saja.

"Ba..Baik, Bu." Jawabku. Susah untuk mengajak berbicara orang yang pikirannya sudah dirasuki oleh setan seperti itu. Kesalahan sedikit saja seperti yang kulakukan, yang sebenarnya bisa ditoleransi, malah justru dibesarkan dan tak ada toleransi.

Aku keluar dari kelas diikuti pandangan teman-temanku. Di belakangku Bu Dina mengikutiku. Sayup-sayup terdengar suara tertawa cekikikan di belakang kami. Suara tertawa Marini.



BAGIAN 5

Ketika tiba di ruang guru, aku dihadapkan kepada guru piket hari itu, Pak Sanjaya. Aku terpaksa berbohong padanya kalau kepalaku saat itu agak pusing. Olehnya aku diminta berbaring di kursi di ruang guru sesaat.

Bu Dina telah kembali ke ruang guru. Hatiku tetap tak tenang. Aku takut perkataan Bolu tentang Bu Dina akan menjadi kenyataan. Mataku terus melirik ke jam dinding di ruang guru.

Delapan menit berlalu.

Lima belas menit.

Dua puluh lima menit.

"Aku tak boleh diam saja. Aku harus melakukan sesuatu." Bathinku. Aku bangun dari tidurku.

"Pak," Ujarku memanggil Pak Jaya yang sedang menulis itu. Dipanggil seperti itu, Pak Jaya menghentikan menulisnya dan menatapku.

"Sudah baikan?" Tanyanya kepadaku.

Aku mengangguk. "Ya, Pak."

"Kalau begitu, kamu kembali ke kelas. Sayang kan, ini hari pertamamu. Jangan dilewatkan begitu saja."

"Iya, Pak. Terima kasih." Aku membalikkan badan dan keluar ruang guru menuju ruangan kelasku sendiri.

"Sisa sepuluh menit bel istirahat." Kataku. Aku mengetuk pintu kelas.

Bu Dina membukakan pintu untukku masuk. Setelah diinterogasinya sesaat, aku diperbolehkannya duduk lagi.

"Heh?!!" Aku mengucek mataku. Tak percaya aku pada penglihatanku saat itu.

Saat itu Bu Dina sedang menerangkan jawaban dari latihan yang kami buat tadi. Aku tertegun sesaat, hatiku gembira bercampur senang. Tak ada lagi sosok Marini yang menumpang di punggung Bu Dina.

"Syukurlah!" Ujarku menghela nafas dalam. Waktu yang tersisa kupergunakan untuk mendengarkan penjelasan Bu Dina.

TENGGG!!!

Bel pelajaran berbunyi. Dua jam pertama selesai. Sebelum melanjutkan ke jam pelajaran berikut, kami semua mendapat waktu 15 menit beristirahat.

"Halo," Terdengar sebuah suara memanggilku saat aku sedang membereskan bukuku ke dalam tasku. Aku mengangkat wajahku melihat siapa yang memanggilku itu. Ternyata dua orang teman baru.

"Halo." Aku menjawab sapaan mereka. "Maaf ya." Aku menutup tasku.

"Namaku Adam." Aku mengajak mereka bersalaman.

"Kami sudah tahu." Kata salah satu dari mereka. "Aku Sandy."

"Aku Edo." Sahut seorang lagi. "Kamu pindahan dari mana?"

Tak pernah kusadari, aku mendapat teman baru di hari pertama di sekolah baruku itu. Sandy dan Edo ternyata cukup baik. Hanya sebentar saja aku sudah akrab dengan mereka berdua.

"Kita makan yuk. Lapar nih." Kata Edo. Sandy mengangguk.

"Yuk, Adam, kita makan."

Aku mengikuti kedua teman baruku itu. Dari ruangan kelasku, kami harus melintasi koridor yang terdapat barisan kelas di kiri kanannya. Sejauh mataku memandang, ternyata tak hanya kami saja yang berada disana.

Kami, anak-anak sekolah yang disana, namun juga makhluk halus yang mendadak muncul dan lewat begitu saja. Beragam bentuknya dan semuanya adalah penghuni kelas masing-masing, mulai dari anak kecil, wanita tua, sampai seorang kakek berbadan bungkuk.

"Sekolah ini banyak sekali penghuninya." Bathinku. "Andai saja aku tak bisa melihat semua ini."

"Ke WC dulu yuk." Kata Sandy tiba-tiba. "Udah gak tahan nih..."

Akhirnya kami bertiga ke toilet terlebih dulu. Kebetulan letaknya tak jauh dari kami berada saat itu. Dan toilet wanita berada di ruang sebelah toilet pria.

"Jadi disini tempatnya Marini." Kataku sambil mencoba melongok ke dalam toilet wanita, berharap bisa melihat Marini disana.

"Heh, itu buat cewek, Dam. Kita disini." Kata Edo menarik lenganku.

"Eh, iya." Aku mengikuti lenganku yang ditarik Edo. Gagal deh aku melihat keberadaan Marini.

"Pasti tidak apa-apa." Ujarku dalam hati. "Ini sudah waktunya."

"Jangan-jangan Bolu salah informasi." Kataku lagi. Kami bertiga sudah melangkah keluar dari toilet. Tapi tak ada sesuatu yang aneh yang terjadi di toilet perempuan.

"Disini toiletnya cuma satu ini ya?" Tanyaku.

"Kalau buat kita, di setiap lantai ada." Kata Sandy.

"Kalau guru juga pakai toilet yang sama?" Tanyaku lagi.

"Di sebelah ruang guru ada toilet sendiri." Kata Edo. "Cuma masih rusak."

"Rusak?"

"Ya, jadi guru-guru pada datang kemari." Sambung Sandy.

"Oh begitu." Kataku. Wangi makanan sudah tercium saat kami menjejakkan kaki di kantin.

"Repot juga kalau setiap lantai ada toilet." Bathinku. "Mana kutahu Marini ada di toilet lantai berapa. Masa musti kuperiksa satu persatu?"

Kebetulan aku belum sempat makan pagi hari itu karena buru-buru. Jadi aku memanfaatkan kesempatan itu untuk makan mengisi perut.

"Setidaknya aku bisa makan, Bu Dina sudah tenang." Kataku membatin. Sandy dan Edo juga memesan makan.

Kami bertiga makan dengan lahap, agak terburu-buru karena waktu istirahat yang tersisi hanya tinggal 3 menit. Hal itu membuatku tak menaruh perhatian pada makhluk halus yang mungkin muncul di area kantin sekolah kami.

"Yuk! Masuk!!" Kata Sandy sambil berdiri dan meneguk minumnya dari botol air mineralnya.

Aku menelan air yang kuminum barusan dan dengan langkah terburu-buru aku mengikuti keduanya.

"Ke toilet dulu ya," Ujarku kepada mereka.

Kami berhenti di toilet yang pertama kami masuki sebelum ke kantin. Karena terburu-buru, aku tak lagi memperhatikan toilet sebelah.

Bel berbunyi tepat ketika kami bertiga keluar dari toilet dan siap melangkah.

"AAAAAAAAAKKKKKKKKKKKKHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!"

Tahu-tahu terdengar teriakan kencang, seakan ingin beradu kencang dengan bunyi bel masuk.

Sebagian orang panik, termasuk aku. Suara teriakan itu berasal dari toilet sebelah, toilet wanita!

"AAAAHHHHHHHHHH!!!" Terdengar suara jeritan lainnya dan seketika suasana toilet wanita menjadi gaduh.

Seorang temanku, mungkin dari kelas lain yang tak kukenal, berlari keluar dengan wajah pucat pasi. Panik.

"Tasya, ada apa?" Tanya Sandy kepada salah satu teman yang berlari keluar. Beberapa teman lainnya berlarian keluar dari dalam toilet sambil terpekik.

"Bu Dina." Kata Tasya dengan panik.

"Bu Dina kenapa?" Tanya Edo.

"Bu Dina pingsan." Jawaban Tasya membuatku kaget.

"Pendarahan." Sambung seorang lagi yang baru keluar dari toilet. "Bu Dina pendarahan."

Semakin kaget aku mendengarnya. Pingsan dan pendarahan? Berarti Marini benar-benar melakukan apa yang dikatakannya?

BERSAMBUNG